Lahir
dengan nama khoirul anwarudin tanggal 6 desember 1994. Namun karib sering
memanggilku anwar. Aku berasal dari wilayah selatan indramayu, yang berbatasan
langsung dengan wilayah kabupaten Cirebon,
jawa barat.
Sejak
kecil aku sudah dididik dengan ajaran islam. Dimulai dari orang tuaku sendiri,
kemudian dari para asatidz dan sesepuh kampung melalui pengajian pengajian di
musholah dan di madrasah. Keluargaku
sendiri kebanyakan telah mengenyam pendidikan pesantren, meskipun kedua orang
tuaku hanya berlatar masyarakat biasa.
Baru
pada tahun 2007, aku dipondokkan di pondok pesantren Al ma’unah, yang masuk
wilayah kabupaten Cirebon. Pesantren tersebut diasuh oleh KH. Bakhruddin Yusuf.
Seorang Kyai yang disegani karena ilmu dan kepribadianya yang baik. Beliau juga
cukup aktif di organisasi keagamaan yang membuat beliau semakin berpengaruh,
baik dakalangan masyarakat biasa maupun dikalangan sesama ulama.
Ujian Pertama
Sebenarnya
keinginanku bukan masuk pesantren. Yang saat itu terlintas dipikiranku adalah
masuk sekolah favorit, maklum saat di bangku Sekolah dasar aku termasuk siswa
yang cukup menonjol. Guru-guruku tentu menyarankan aku untuk melanjutkan ke
sekolah terbaik agar kemampuanku bisa terasah maksimal. Namun tidak dengan
orang tuaku. Mereka tetap keukeuh kalau aku harus masuk pesantren
dengan alasan yang sebenarnya saat itu aku tidak pahami. Keinginanku masuk
sekolah favorit pupus sudah, yang kemudian terlintas adalah aku ingin
membahagiakan orang tuaku.
Beruntung,
di pesantren Al ma’unah ternyata juga disediakan sekolah formal. Meskipun kondisinya jauh dari
sekolah yang pernah aku impikan. Dimana peralatan penunjang belajar sangat
minim. Terlebih dengan kondisi bangunan sekolah yang masih prematur. Saat musim
kemarau ruang kelas berdebu karena lantainya masih berupa tanah. bahkan saat
musim hujan kegiatan belajar terpaksa dihentikan karena ruang kelas kebanjiran.
Namun itu tidak menjadi masalah yang berarti
karena di pondok aku ternyata menikmatinya.
Baik santri yang seangkatan maupun yang lebih senior, mereka sangat baik
dan peduli terhadap santri lainya, termasuk kepadaku. Hal ini menjadi penghibur
tersendiri, di tengah kekecewaanku yang masih membekas kepada orang tuaku.
Budaya Ghosob
Masih
di minggu-minggu awal di pesantren Al ma’unah. Banyak santri baru yang boyong karena tidak tahan dengan kondisi
di pondok pesantren Al ma’unah, yang setiap hari kegiatanya sangat padat, yakni
ngaji. Baik Pagi, siang, sore dan malam. Praktis waktu
bermain bahkan untuk keperluan pribadi hanya sedikit sekali Hal ini mendorongku untuk boyong dan pindah ke sekolah atau pesantren yang lebih bebas. Terlebih
aku sering dibuat kesal karena barang-barangku sering di Ghosob. Baju yang baru
sebentar di letakkan di atas lemari sudah hilang, sandal jepit tinggal yang
kirinya saja, sabun shampoo dan peralatan mandi lainya sudah raib. Meskipun
pada akhirnya akan kembali juga. Namun tetap saja bikin aku jengkel.
Akupun
protes ke salah seorang santri senior yang juga
pengurus pondok. Aku bilang “kenapa di tata tertib pondok yang
terpampang jelas di setiap kamar disebutkan kalau ghosob itu dilarang, tapi
mengapa seakan tidak ada tindakan tegas bagi para pelakunya”.
“kalau
masalah ghosob, sangat sulit untuk diatasi. Semoga kamu mengikhlaskan saja
barang yang di ghosob orang lain, toh mereka disini kan ibaratnya seperti
saudara kamu sendiri” jawabnya.
Aku
merasa tidak lagi mempunyai harapan. Akupun semakin sedih ketika teringat pesan
ibuku agar aku hati hati merawat setiap barang barangku dengan baik. Kerena
memang aku dari keluarga yang pas-pasan, sehingga agak berat apabila harus
boros membeli sesuatu. Hal ini kembali menjadikan keinginanku untuk boyong
semakin besar.
Namun
disisi yang lain, aku teringat pesan mama yai (panggilan santri untuk sang
pengasuh, KH. Bakhruddin Yusuf) di sela sela acara pengajian. Mama yai selalu
mengatakan “ tidak apa apa dipondok merasa susah, karena itu yang dicari. Tidak
mungkin dalam hidup kita akan susah terus, pasti ada bahagianya. Kalau di
pondok kalian merasa susah, pasti detelah mondok kalian akan menemukan
kebahagiaan” begitu pesan mama yai. Biasanya setelah berpesan demikian, beliau
memotivasi kami dengan Qishotun Ni’mah dari para kyai yang telah mendapatkan
keberkahan setelah mereka berjuang dari hawa nafsu Ketika mereka masih mondok.
Belakangan
Ghosob bukan lagi menjadi masalah serius. Meski begitu, saat aku diangkat
menjadi pengurus bidang kegiatan dan pendidikan setahun lalu, aku mengupayakan
agar budaya Ghosob enyah dari pondok al ma’unah dan diganti dengan budaya
izin-mengizinkan. Meskipun pasa akhirnya hasilnya tetap nihil.
Masih
di tahun awal, aku berhasil menamatkan hafalan Juz Amma, yang menjadi program
wajib setahun awal di pondok.
Pada
tahun 2009, saat itu aku telah memasuki tahun ke tiga di pondok pesantren al
maunah. Ketika satu peristiwa mengejutkan terjadi.
Dimulai
dengan beberapa santri yang sakit dan di isolasi di dalah satu kamar kosong.
Beberapa hari kemudian, santri yang sakit bertambah dan meningkat drastic.
Hinggamencapai puluhan santri. Terakhir, saat ada pendataan santri sakit,
jumlahnya telah mencapai separuh dari dekitar 150 santri. Hal ini cukup
mengejutkan. Akhirnya seluruh santri yang terdata sakit, termasuk aku, digiring
ke puskesmas terdekat. Terpaksa pihak sekolah maupun pondok meliburkan seluruh
kegiatanya.
Dilingkungan
luar pondok, telah beredar kabar kalau
santri Al ma’unah terserang virus flu babi, yang saat itu sedang menjadi
perbicangan dikalangan khalayak ramai. Didasarkan informasi yang setengah
setengah yang mereka terima. Sehingga mereka melarang anak-anak mereka yang ngaji di pesantren untuk mendekati
lingkungan pondok. Pada malam jum’at, yang biasanya ramai dengan warga yang
mengikuti mujahadaan juga mendadak
sepi, hanya segelintir orang yang berani dating malam itu.
Betapa
kagetnya petugas puskesmas menyaksikan begitu banyaknya santri yang sakit.
Semua santri yang sakit ditanyai, mereka mengaku sakit. Tapi saat diperiksa
banyak yang kondisinya normal normal saja. Meski begitu, santri yang sakitnya
lumayan parah, mereka dirujuk ke puskesmas kecamatan untuk rawat inap.
Sementara yang lainya diperbolehkan pulang.
Selang
beberapa hari,aktifitas di pondok pesantren Al ma’unah kembali normal. Sekolah juga
tidak lagi diliburkan. Sementara issue mengenai flu Babi yang sebelumnya cukup
menhebohkan, perlahan mereda. Alhamdulillah, issu Virus Flu Babipun terbukti
tidak benar, karena yang diderita santri hanya Flu biasa, bukan dari Virus yang asalnya
sesuatu yang
najis tersebut.
Teka
teka tentang membengkaknya jumlah santri yang sakit juga perlahan menemuai
titik temu, meskipun hal ini tidak memberikan pengaruh yang berarti karena
issue terlanjur tersebar. Namun ini bisa menjawab pertanyaan berbagai pihak, perihal
membengkaknya santri yang sakit.
Ceritanya,
banyak santri yang pura pura sakit karena malas untuk ngaji atau sekolah.
Seorang sahabatku, Saeman salah satunya. Saat aku Tanya “Man, kenapa enggak
sekolah”. “malas ah, banyak yang sakit. Paling gurunya juga enggak bakal
berangkat” katanya. Ia mengambil jaket dan selimut kemudian berbaring diatas
kasur. Saat ada pendataan ia dan santri yang juga pura pura sakit ikut digiring
ke puskesmas.
Ihwal Sarung
Di
pondokku adakewajiban mengenakan kopiah dan sarung saat keluar pondok maupun
saat pulang. Mungkin hal ini bertujuan untuk menunjukkan atribut keislaman dan
kebanggaan menjadi seoarang santri. Namun banyak santri yang masih belum
percaya diri mengenakan sarung dan kopiah saat berada di luar lingkungan pondok
pedantren.
Satu
ketika, aku memperoleh jatah kiriman dari rumah. Sebelumnya aku berencana
membeli sebuah buku di sebuah mall si pusat kota Cirebon. Saat itu aku ingin
sekali mewujudkanya.
Bersama
dua sahabatku, seaman dan suhendi aku pergi ke sebuah took buku di Mall
tersebut tidak dengan sarung dan kopiah. Namun ternyata ada yang aneh. Orang
orang memandangi aku heran, mungkin karena penampolanku yang juga aneh dan
norak. Aku memakai sepatu sport, celana jeans serta kemaja kusut. Ketiganya
sengaja aku pinjam dari seorang teman. Ketiganya pula satu sama lain tidak
matching.
Pengalaman
memalukan ini aku ceritakan kepada seorang teman yang lebih senior dariku. Ia
malah menertawaiku dan berkata “ kamu seharusnya jangan minder pakai sarung dan
kopiah, seharusnya kamu bangga jadi seorang santri, sebagai orang yang
menjunjung tinggi ajaran islam. Buktikan dong kalau kamu memang bangga jadi
santri” akupun tersenyum kecut.
Di satu
kesempatan lain, aku kembali ke Mall tersebut, untuk satu keperluan. Saat itu
aku beranikan diri untuk mengenakan kopiah dan sarung. Banyak orang yang
memandangiku aneh, sementara yang lainya cuek cuek saja. Saat aku melewati
sebuah gerai produk elektronik, seorang SPG (Sales promotion girl) yang
mengenakan kaos ketat serta rok mini 15 cm di atas lutut, tiba tiba nyeletuk.
“abis di sunat de’…..” aku tetap berlalu begitu saja.
Khidmah dan Syu’bah
Saat
ini aku telah menginjak tahun ke enam di pondok pesantren al ma’unah. Masa yang
masih terlalu sedikit untuk belajar. namun aku tetap bertekad untuk terus
belajar tanpa dibatasi waktu dan umur. Kini aku berusaha memburu keberkahan
Allah Swt melalui khidmatku kepada Mama Mai serta Ibu Nyai. Ketika aku
dipercayakan untuk menggarap lahan seluas kurang lebih satu hectare, aku sangat
senang. Bersama tiga orang lainya, aku mempunyai kewajiban lain disamping
belajar dan mengaji, yakni mengolah lahan untuk ditanami palawoja. Saat itulah
aku merasakan lebih dekat dengan Mama Yai dan Ibu Nyai. Percaya atau tidak, hal
ini membuat hatiku merasa lebih damai dan tentram. Semoga Allah Swt memberikan
keberkahan kepadaku, pengajarku serta pesantrenku. Amin.
Comments
Post a Comment